HIDUP ADALAH PERJUANGAN
Oleh
Fuji Andayani, M.Pd.
Lahir
dari keluarga kurang mampu diantara jumlah anak yang melebihi anjuran Keluarga
Berancana, itulah diriku. Mungkin karena itu diriku diadopsi oleh pasangan
suami istri bersuku jawa yang tidak memiliki keturunan, walaupun demikian aku
memiliki dua saudara amgkat, abang dan kakak yang juga anak adopsi. Sebagai
anak bungsu, tentunya aku begitu dimanja dan hampir semua keinginanku terpenuhi. Statusku sebagai anak angkat baru
kuketahui setelah aku beranjak dewasa.
Aku
bertumbuh kembang dengan begitu banyaknya perhatian dari orang sekitar,
terutama kedua orang tuaku. Bisa dibayangkan pada saat duduk di bangku kelas 3
SD, aku masih meminum susu dari botol dan
tidur di ayunan. Orang tuaku cenderung tidak memaksakan kehendak dan
keras dalam mendidikku. Mereka memberikan motivasi agar aku menjadi orang
sukses dan akulah yang menentukan pilihan. Walau dimanja, aku cukup bertanggung
jawab dan selalu ingin menjadi yang terbaik, menurut para ahli itu yang
dinamakan internal motivation,
motivasi yang berasal dari dalam diri.
Masa
kecil dan masa remajaku memang begitu membahagiakan sampai aku kehilangan ibuku
yang tercinta selamanya karena penyakit kanker dan diabetes yang dideritanya. Hal
yang membuatku bersyukur adalah aku memiliki waktu untuk merawat ibuku di
masa-masa beliau tidak bisa berjalan tanpa bantuan dan hanya bisa tergeletak di
tempat tidur. Aku menyadari bahwa beliau telah merawatku dengan penuh kasih
sayang dari saat aku diadopsi pada usia tiga hari. Di saat itulah, aku benar-benar
mendengar dari kakak sepupu bahwa aku adalah anak angkat, yang mana sebelumnya
aku beberapa kali mendengar selentingan dari tetangga tentang itu tapi selalu
disangkal oleh ibuku dengan menunjukkan bekas operasi pada perutnya yang
kemudian aku ketahui sebagai bekas operasi kanker rahim penyebab ibuku tidak
bisa memiliki keturunan. Pada saat tak
berdaya, tergeletak ditempat tidurpun, ibuku tetap menyangkal dengan lirih , “ Fuji
anak ibu…” terlihat olehku butiran- butiran air mata membasahi mata dan pipi
ibuku tersayang. Beliau bukan ibu yang melahirkanku tapi beliaulah tautan hati,
belahan jiwa. Bagai petir di siang bolong ketika akhirnya kudapatkan ibuku
menghembuskan nafas terakhirnya, air mata anak manja tak dapat ditahan, kakiku
tak dapat dipijakkan kebumi ketika pulang dari pemakaman. Pertanyaanku adalah:
“Sanggupkah aku hidup tanpa ibu yang selalu menyayangiku?”
Hari-hari
kulalui tanpa kasih sayang ibu, bapak terkadang sibuk dengan dirinya sendiri,
selain mencari nafkah juga berusaha mencari pengganti ibu. Namun aku yang
mengerti akan tanggung jawab sudah bisa menafkahi diri sendiri sejak aku berada
di bangku kuliah, tepatnya di semester 2, bukan tuntutan dari bapak, tapi aku
ingin merasa berguna dan juga mengasah ilmu yang kudapat dari bangku kuliah
untuk diterapkan pada tempat mengajarku. Pencarian bapak yang panjang berakhir
ketika bapak mempersunting seorang wanita yang aku sendiri tidak begitu
mengenal asal usulnya. Hadirnya ibu tiri adalah awal dari penderitaan hidupku. Ibu
tiriku yang terpaut 30 tahun umurnya dengan bapak sangat pintar bersandiwara,
dia terlihat oleh bapak perhatian terhadap diriku dan secara bersamaan juga
memojokkan aku dihadapan bapakku sampai akhirnya aku tak mampu dan berusaha
menjelaskan tetapi bapakku begitu cepat berburuk sangka padaku, keluarlah
kata-kata yang menuding, “Kamu iri atau apa terhadap ibumu, apa maumu, ingin
tidak kompak dengan ibu?”. Masih dengan nada tinggi dan ekspresi wajah emosi,
itu sungguh terlihat di raut wajah bapak yang telah berusia 60 tahun, bapak
dengan tegas memutuskan sesuatu, “Cepat Kamu menikah dan tinggalkan rumah ini,
Kamu tidak bisa tinggal satu rumah dengan ibu!”. “Ya Allah, kuatkan aku, ampuni
dosa-dosa ku, semoga bapak sadar bahwa aku tidak bermaksud buruk dengan ibu
tiri.” Ucapku dalam hati, seorang anak manja, yang selalu disayangi oleh kedua orang
tua, namun harus menelan pil pahit kehilangan kasih sayang bapak setelah
ditinggal ibuku. Sejak hari itu aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan
tinggal di rumah kos yang tak jauh dari kampus sementara abang dan kakakku
telah berumah tangga dan tinggal terpisah dari kami.
Hanya
Allah tempatku mengadu, kuhabiskan waktu untuk beribadah dan bekerja keras.
Alhamdullilah aku sangat mencintai pekerjaanku sebagai seorang guru, aku lebur
di dalamnya, kuabdikan diriku secara total, peserta didikku adalah anak-anakku,
masa depan bangsa ini ada di tangan mereka. Selain mengajari mereka berbahasa
Inggris, aku selalu memberi motivasi kepada peserta didikku untuk menjadi
manusia yang selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk menggapai keinginan.
Aku diberi predikat guru super karena
bisa
membuat peserta didikku fasih berbahasa Inggris sehingga mereka bisa
memenangkan English Contest baik di dalam maupun di luar sekolah. Aku
sanggup melakukannya bukan karena aku galak terhadap peserta didik tapi karena
aku tidak pernah berhenti melatih serta memberikan motivasi kepada mereka bahwa hidup ini adalah
berbuat dan berbuat. Peserta didik menjadi begitu dekat denganku seperti aku
ini ibu bagi mereka terutama di sekolah.
Aku memang kecewa, sedih dan ingin marah tidak
mengetahui jati diriku dan harus mengalah dengan ibu tiriku, tapi aku sadar aku
tidak bisa hidup dalam kekecewaan,
kesedihan dan kemarahan. Hidup bermakna adalah jika kita bisa berguna bagi orang lain dan bagi diri
sendiri. Onak dan duri yang melukai kita adalah warna dalam kehidupan kita. Aku
yang manja, karakter yang melekat pada diri hampir semua wanita, juga bisa
tegar untuk terus berjuang karena HIDUP ADALAH PERJUANGAN.
Comments
Post a Comment